Sabtu, 30 Juli 2016

Cerpen : Loser ! (Part 3)

         
 “ Kak Jian, ayo masuk ! “ ajak Jason ramah.
            “ masuk apanya ? enak saja “ protes Tesan.
            “ kenapa ? kita harus menghargai tamu. Kasihan kak Jian kepanasan diluar sini “ ujar Jason
            “ tidak ada ibuku dirumah, mana boleh anak perempuan masuk rumah orang sembarangan” ujar Tesan ngotot. Ditengah-tengah keributan mereka, sebenarnya Jian bermaksud melarikan diri.
            “ tidak apa-apa. Aku tidak perlu masuk. Aku Cuma...”
            “ kau dengar sendiri ! dia bahkan tidak ingin masuk. Tidak ada gunanya menyuruh dia masuk. Hanya akan membuat semakin banyak orang salah paham. Kau tau, semua orang mulai membicarakan aku lagi disekolah. Dan apa kata orang-orang kalau aku membiarkan dia masuk kerumahku. Kau ingin aku ditabrak bis kali ini ?  “ kata Tesan panjang lebar sampai membuat Jason takjub.
            “ ya ya baiklah. Terserah kau saja. silahkan bicara sambil berpanas-panasan kalau begitu. Aku mau nonton Tv dulu “ ujar Jason kemudian meninggalkan mereka Tesan dan Jian.
            “ mau kemana kau ? “ teriak Tesan. tapi Jason mengabaikannya.
            “ Tesan ! “ ujar Jian kemudian.
Tesan menoleh ke arah Jian dengan enggan. Bahkan ekspresi wajahnya sangat menyakitkan. Kalau saja Jian tidak sedang merasa bersalah, dia pasti sudah pergi dan tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi padanya.
            “ kau baik-baik saja ?” tanya Jian
            “ memangnya kau mengharapkan aku kenapa-kenapa ya ? “ Tesan bertanya balik dengan kasar. Jian berpikir, anak ini pasti tidak pernah diajari cara berbicara dengan baik kepada orang lain. Sikapnya sangat kasar. Ternyata begitulah sebabnya dia tak punya banyak teman. Mungkin suatu hari nanti Jian harus bertanya pada Jason, berapa banyak dia dibayar sehingga mau menjadi teman baik Tesan.
            “ apa kau yakin kau baik-baik saja ? “ tanya Jian lagi.
            “ kau benar-benar ingin aku sakit dan semacamnya ya ? “
Apa ini ? anak ini kelihatan biasa-biasa saja. kelihatan sehat bahkan sanggup membentak-bentak. Dia juga tidak kelihatan punya luka memar dan lain-lain kecuali plaster dikepalanya karena terjatuh dari bis kemarin. Dia cuma berkeringat. Itu normal, karena cuaca siang ini sangat panas. Tapi Emir, dia bilang dia berkelahi dan menang. Apa Emir berbohong ? apa sebenarnya Tesanlah yang menang ? karena ada luka memar diwajah Emir. Sedangkan Tesan tidak ada luka sedikitpun. Tidak mungkin untuk mencari tau dari Tesan. anak ini hanya akan membuatnya terlihat sangat rendah dan bau seperti sampah. Bahkan kehadiran Jason sebagai penengah sudah tidak membantu lagi. Jian harus cepat-cepat pergi dari tempat itu. dia harus melihat Emir lagi. tadi dia juga memukulinya didepan semua orang. Apa dia baik-baik saja sekarang ? apa dia kesakitan ?
            “baiklah, kalau begitu aku pergi. Maaf mengganggumu ! “ kata Jian berpamitan. Tesan hanya diam tanpa bereaksi apapun. Jian mendengarnya membanting tertutup pintu saat Jian sudah keluar dari area rumahnya.
Jian tidak ingin berlari lagi. dia hanya berjalan secepat mungkin kali ini. dia sudah kehabisan tenaga untuk memukuli Emir, berlari-lari dan berbicara dengan Tesan tadi membuatnya banyak berdebar-debar. Jadi dia sedikit lemas sekarang. Jian sampai di depan gang tepat saat Emir berdiri dari duduknya. Sepertinya Emir sudah akan pergi. Dia bahkan memakai almamaternya dan menggendong tas nya. Dibawah sinar matahari, rambut basahnya berkilauan.
            “ Emir ! “ panggil Jian. Emir menoleh, lalu mundur lagi ke halte. Jian berlari kearahnya. Kali ini Emir tidak tersenyum ataupun tertawa padanya. Dia terlihat seperti Emir yang waktu itu mendorong Tesan jatuh dari Bis. Ekspresi dan mata tajamnya benar-benar menakutkan.
            “ Emir, maaf ! kau baik-baik saja kan ? “ ini kesekian kalinya pertanyaan itu keluar dari mulutnya.
            “ apa aku terlihat baik-baik saja ? “ tanya Emir
            “ ayo kerumahku, aku akan mengobati lukamu “ ajak Jian, tiba-tiba merasa bersalah juga pada Emir.
            “ tidak perlu. Luka-luka ku ini tidak seberapa dibanding luka didalam sini “ ujar Emir sambil menunjuk dadanya.
            “ apa Dadamu juga terluka ? kau perlu kedokter ?“
            “ jangan bercanda !” geram Emir. Jian langsung diam dan mundur menjauh dari Emir. Sepertinya Emir sangat marah sampai tidak ingin mendengar candaannya. Meskipun Emir tidak mungkin akan memukul atau menyakitinya, tetap saja Jian sedikit ketakutan.
            “ sudahlah ! lupakan saja ! anggap saja aku tidak apa-apa. Mungkin aku harus banyak istirahat setelah ini. pulanglah “ ujar Emir.
            “ Emir, aku tau kau marah padaku. Aku benar-benar minta maaf. Aku pasti sudah salah paham tadi dan.... memukulmu... “
            “ kau hampir mematahkan tulangku. Hanya karena kau peduli pada anak itu, kau hampir membuat aku tak bisa makan dengan tanganku sendiri. Aku benar-benar kecewa “ ujar Emir dengan suara marah yang ditahan. Jian terdiam mendengar itu. dia ingin sekali bertanya lebih banyak, bicara lebih banyak untuk membuat Emir memaafkan dan melupakan kemarahan. Tapi, dia bahkan tak bisa membuka mulutnya sedikitpun. Dia tak punya ide apapun untuk dikatakan. Jadi dia hanya membiarkan Emir berjalan menjauh disepanjang trotoar. Jian bahkan masih terus menatapnya sampai Emir berbelok ke gangnya.
Jian pulang kerumah. Segalanya terasa sangat salah hari ini. awalnya dia yang marah pada Emir, tapi akhirnya justru dia tak bisa marah dan menerima kemarahan Emir. Dia juga tiba-tiba saja punya ide untuk mendatangi rumah Tesan. dan anak itu benar-benar tidak tau cara berbicara yang baik dengan orang lain. Kenapa semua hal menyedihkan selalu datang padanya akhir-akhir ini ? kenapa hidupnya tak lagi tenang sejak...sejak dia putus dengan Emir ! tidak ! sejak dia mulai tertarik pada Tesan.
Tesan merebahkan dirinya diatas tempat tidur. Matanya menerawang ke langit-langit kamar yang gelap. Disamping tempat tidurnya, paket dari ayahnya masih tergeletak dimeja tanpa tersentuh. Tesan tak punya keinginan untuk membukanya. Dulu, waktu dia kecil di sangat menyukai hadiah-hadiah dari ayahnya. Mainan-mainan baru yang sedang populer dan diimpi-impikan semua anak. Cokelat dan buah-buahan memenuhi kulkas mereka saat ayahnya datang berkunjung. Dan yang lebih Tesan sukai, adalah kedatangan ayahnya. Hanya kedatangannya yang membuat Tesan sangat bahagia. Dan itu belum berubah hingga sekarang. Seberapa buruknya pun komentar orang tentang ayahnya, tentang ibunya, tentang keluarga mereka. Tesan tetap mencintai ayahnya seperti dia mencintai ibunya. Tesan tetap mengharapkan ayahnya suatu hari akan datang dan tinggal bersama dia dan ibunya. Tapi akhir-akhir ini ayahnya mengecewakannya. Ayahnya hanya mengirim hadiah dan tak pernah datang kerumah lagi. dia bahkan tidak menjawab panggilan telpon Tesan. ini benar-benar mengecewakannya. Kadang dia bertanya-tanya apakah ayah dan ibunya sudah memutuskan untuk benar-benar berpisah ? apa ayahnya sudah tidak memedulikan mereka lagi ? beberapa kali Tesan memergoki ibunya sedang menangis. Tapi ibunya selalu berkata kalau semua baik-baik saja. kalau dia menangis karena teringat Novel sedih yang tadi dibacanya. Dalam hal ini, Tesan hanya berpura-pura tidak tau. Dia hanya berpura-pura tidak melihat ibunya menangis. Dia hanya berpura-pura tidak menyadari kalau keadaannya sudah berubah. Entah sampai kapan dia akan diam. Entah sampai kapan dia hanya akan bicara dengan hatinya sendiri. Tentang semua kekhawatiran yang menyesaki dadanya.

Emir
Sudah 3 minggu sejak terakhir kali Emir berbicara dengan Jian. Hari itu Tesan mendapat luka memar diwajahnya karena berkelahi dengan seorang siswa SMA lain. Emosinya memang belum terkontrol dengan baik sejak ia tau Jian menyukai Tesan. apalagi, akhir-akhir itu semua orang membicarakan Jian dan Tesan. dan yang paling membuatnya tidak nyaman adalah Jian yang tetap berkeras membela Tesan meskipun dia tau dengan baik kalau Tesan tidak pernah menganggapnya ada, dia bahkan membentaknya didepan semua orang. Beberapa hari sebelumnya, Emir sengaja mendorong Tesan dari atas Bis ketika Tesan hendak turun didepan halte. Tesan juga memukulnya didepan semua orang. Harusnya Jian tau kalau itu adalah peringatan. Harusnya dia sadar kalau Emir tak akan tinggal diam melihat cara Tesan memperlakukannya.
Entahlah, pikiran seorang gadis memang sulit dimengerti. Apalagi Jian, dia cenderung berpikir terburu-buru dan mengambil keputusan tanpa kompromi. Dia hanya melakukan apa saja yang dia mau. Bukan apa yang terbaik untuknya.  
Siang itu kejadiannya sangat tiba-tiba dan tak terduga. Jian datang sambil bertanya ‘apakah dia berkelahi?’ dan dia menjawab ‘Ya, aku menang’. Sebenarnya saat itu yang keluar dari mulutnya hanyalah gurauan. dalam hatinya hanya memikirkan betapa khawatirnya Jian. Dan kata-kata gurauan akan membuktikan kalau dia baik-baik saja. bahkan dia masih bisa bergurau. Dia ingin wajah khawatir itu berubah menjadi senyuman manis seperti biasanya. Sayangnya, Jian menangkap maksud lain dari jawabannya. Bukannya merasa lega kalau Emir baik-baik saja, Jian justru melayangkan pukulan-pukulan ke lengan dan tubuh Emir. Rasanya sih tidak seberapa sakit, tapi hatinya lebih sakit dan kecewa karena bukan reaksi ini yang Emir harapkan. Gadis itu bahkan menyebutkan nama Tesan. dia lebih mengkhawatirkannya. Sepertinya rumor itu benar, Jian memang sedang menyukai Tesan. Emir sudah benar-benar dibuang. Dia bukan siapa-siapa lagi dimata Jian. Dia sekarang ini, mungkin hanya pengganggu yang terus menghalangi Jian untuk mendapat perhatian Tesan. tapi sebenarnya Emir hanya ingin Jian tau kalau dia melakukan hal yang sia-sia. Dia bahkan tidak akan bisa berharap sedikitpun pada anak itu. anak yang sombong dan tak pernah melihat orang lain. Anak itu hanya hidup didunianya sendiri. Bagaimana bisa Jian berharap akan bisa masuk kedalamnya ?.
Emir duduk sendirian didepan meja panjang kantin. Teman-temannya, Jerry dan Sandy sedang dihukum lari keliling lapangan oleh guru Etika. Mereka berdua sukses mengacaukan pelajaran dengan perang bola kertas. Akibatnya pelajaran berakhir lebih cepat dari biasanya karena bu Yana marah-marah dan tidak sabar untuk menghukum mereka.
Emir menatap ke sekelilingnya. makanannya sudah habis tapi dia belum melihat Jian dikantin. Setidaknya dia harus melihatnya dulu sebelum pergi. Dia tidak akan melewatkan Jian sedikitpun. Hubungannya dengan Jian memang tidak kembali seperti semula, tapi setidaknya sudah sedikit baik sejak hari itu. Jian sepertinya merasa bersalah dan sudah mengetahui semuanya. Tentang dengan siapa Emir berkelahi dan dia meminta maaf pada Emir. Tapi saat Emir bertanya apa Jian masih memikirkan anak itu, Jian memintanya untuk tidak bertanya tentang perasaan. Dia ingin hubungannya dengan Emir saat ini hanya sebatas teman saja. jangan pernah bicarakan tentang perasaan saat mereka bersama-sama, karena itu hanya akan membuat Jian mundur dari pertemanan mereka. Emir menyanggupinya. Lagipula dia bisa apa ? Jian toh sudah ada didekatnya lagi, meskipun mereka hanya teman. Tapi Jian tau apa yang Emir rasakan. Jian tau Emir masih menyimpan perasaan untuknya. Emir juga berharap kalau Jian tau dia tak akan berhenti berjuang.
***
            Pagi yang dingin dan berkabut. Tesan memakai almaternya dan berjalan sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Beberapa kali dia meniupkan angin hangat dari mulutnya ke tangkupan telapak tangan. Rasanya lumayan, kehangatan mengalir dari telapak tangannya. Suasana halte masih sepi ketika Tesan sampai disana. hanya ada beberapa anak perempuan kelas 1 dan seorang anak lelaki kelas 3. Dari kejauhan nampak beberapa anak-anak lain juga keluar dari gang dan berjalan menuju halte. Tesan juga melihat Jian dan Emir dikejauhan. Mereka berjalan berdua. Mengobrol dan tertawa sambil berjalan berdampingan. Tesan memperhatikan mereka dari halte. Sedikit perasaan aneh menyelinap dihatinya. Melihat mereka seakrab itu, sepertinya membuat hati Tesan sedikit terusik. Ada perasaan kesepian menusuk hatinya. Dia melihat ke sekelilingnya juga, teman-temannya yang lain berdiri dan duduk berkelompok. Mereka membuka buku pelajaran mereka dan saling menyalin jawaban PR satu sama lain. Yang lain membicarakan perjalanan mereka Weekend nanti. sedangkan Tesan hanya berdiri sendirian memandangi jalanan. Tidak ada seorang pun yang mengajaknya bicara. Dulu dia tidak mempermasalahkan ini. dulu dia baik-baik saja dan menikmati kesendiriannya. Tapi sekarang dia merasa lain. Dia merasa seperti kehilangan banyak hal dan jatuh dari ketinggian. Dia sendirian dan kesepian. Dia tak punya teman untuk diajak berbagi. Tapi kemudian Tesan mengingat Jason, dan senyuman kecil mengembang dibibirnya. Setidaknya dia masih punya Jason. Dia tidak benar-benar sendirian karena ada Jason dan ibunya didalam hidupnya. Dia mengandalkan mereka berdua dalam hidupnya.
Jian dan Emir semakin mendekat. Tesan bisa mendengar tawa mereka dikejauhan. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang lucu dan menyenangkan. dan pemikiran tentang Jian dan Emir yang membicarakan hal menyenangkan tiba-tiba membuat Tesan merasa terganggu lagi. dia tidak tau kenapa tapi dia tidak menyukai itu. dia tidak suka Jian berbicara dengan akrab pada Emir seperti yang ia lihat sekarang. Bukankah gadis itu menyukainya ? katanya gadis itu menyukai Tesan kan ? banyak yang berkata begitu. Lalu kenapa dia kelihatan sangat akrab dengan mantan kekasihnya ? Apa dia hanya main-main ? apa dia bermaksud mempermainkan Tesan ? Tesan tak punya gambaran apapun tentang itu tapi dia tetap tidak menyukai keakraban kedua kakak kelasnya itu.
Bis sekolah tiba, Tesan masuk kedalam bis dan duduk ditempat duduknya yang biasa. Diurutan paling ujung dibelakang dimana tak ada seorang pun yang berani mengganggu dia. anak-anak lain juga mengambil posisi masing-masing. Emir dan Jian duduk berdampingan didekat pintu belakang. Tesan bisa melihat Emir berusaha membuat Jian duduk dengan nyaman disampingnya. Jian juga tak henti-hentinya tersenyum dan tertawa saat Emir mengajaknya bicara. Sayangnya, Tesan tak bisa fokus dan mendengarkan percakapan mereka karena anak-anak yang lain juga sangat berisik. Jadi Tesan tidak tau mereka sedang membicarakan apa. Sebenarnya Tesan ingin menyerah dan pura-pura tidak ingin tau apapun seperti biasanya. Tapi matanya tak bisa lepas dari Jian dan Emir. Meskipun hatinya berkata agar dia menoleh ketempat lain. Tapi tetap saja dia menatap mereka berdua lekat-lekat seakan-akan kalau dia menatapnya begitu dia akan tau mereka sedang membicarakan apa.
            “ oy ! lagi lihat apaan ? “ teriak Jason keras ditelinga Tesan yang tersentak kaget dan memegangi telinganya.
            “ dasar orang gila ! kau mau aku jadi tuli ? “ teriak Tesan marah-marah.
            “ Sorry, habisnya kulihat kau serius sekali. Sampai-sampai berdiri ditengah-tengah koridor begini. Ada apa sih ? “ ujar Jason.
Tesan terkejut dan melihat ke sekitarnya. Dia sedang berdiri ditengah-tengah koridor kelas sendirian. Dan yang lebih parah, ini bukan koridor kelasnya. Ini lantai kelas 3. Ternyata tadi dia mengikuti Jian dan Emir sampai kesini. Dia ingat tadi dia baru saja melihat Emir dan Jian masuk kelas sebelum Jason membuyarkan semua yang ada dalam otaknya. Tesan kesal pada dirinya sendiri. Ada apa dengannya ? kenapa dia sangat terobsesi pada mereka sepagi ini ? aneh sekali.
            “ sedang apa kau disini, eh ? “ tanya Jason
            “ tidak ada “ jawab Tesan singkat
            “ benar tidak ada ? “
            “ tidak usah tanya-tanya kalau kau sendiri sedang berdiri disini ! kau pikir aku gila datang kesini tanpa alasan ?” omel Tesan sambil berjalan menjauh dari tempat itu.
            “ yah, aku sih tadi memang ada urusan disini. Dan aku melihatmu berdiri disana seperti orang bodoh “ ujar Jason.
            “ bisa diam tidak sih ? “ Tesan meledak.
Hari itu Tesan benar-benar tidak bisa memfokuskan dirinya pada pelajaran. Seharian yang ada di otaknya hanyalah Jian dan Emir. Bahkan saat istirahat dia sengaja berlama-lama dikantin agar bisa melihat atau kalo dia beruntung dia bisa mendengar percakapan mereka. Bisa saja mereka melanjutkan percakapan yang tadi sempat tertunda karena harus segera masuk ke kelas. Tapi baik Jian maupun Emir tidak menunjukkan batang hidungnya sama sekali hari itu. membuat perasaannya semakin marah dan tidak tenang. Hari ini dia sudah membentak Jason setidaknya 7 kali saking kesalnya. Dan Jason sekarang sudah mulai mengurangi kata-katanya. Dia bahkan tidak berkata apa-apa saat mereka berpisah di pintu gerbang sekolah. Tesan maklum, sebagai seorang sahabat baik sebenarnya Jason diperlakukan dengan kurang baik oleh Tesan. Jason memang teman baiknya, tapi dia selalu saja menjadi pelampiasan kemarahan Tesan. dia selalu saja menjadi tempat Tesan mencurahkan segala perasaannya.  Kadang-kadang Tesan merasa buruk karena melakukan itu dan Jason selalu menepuk bahu nya saat dia meminta maaf. Mengatakan kalau dia tidak apa-apa. Dia sangat memaklumi keadaan Tesan dan tidak keberatan Tesan melampiaskan kemarahannya. Dia memahami Tesan. dalam hatinya Tesan berjanji akan memperlakukan Jason dengan baik dikemudian hari saat dia sudah bisa mengendalikan diri. Dia berjanji akan membayar semuanya untuk persahabatannya. Jika perlu seumur hidup.
            Tesan dan anak-anak lain masuk kedalam bus yang sudah menunggu mereka sejak tadi. Tidak seperti biasanya, keadaan didalam bus siang itu agak sepi. Anak-anak yang naik tidak sebanyak biasanya. Kebanyakan juga anak-anak kelas satu. Tesan memandang berkeliling sebelum duduk. Dia mencari-cari disemua sisi bis dari depan sampai belakang. Tidak ada tanda-tanda Emir atau pun Jian. Mereka tidak ada disini. Tapi bis nya sudah akan berangkat. Kemana mereka ? apa mereka tidak naik bis hari ini ? apa mereka pergi kesuatu tempat berduaan ?
            “ bagus juga ya, anak kelas 3 ikut kelas tambahan. Jadi kita tidak perlu berdesak-desakan “ ujar seorang siswi yang duduk didepan Tesan.
            “ iya, biasanya aku jarang duduk karena rumahku paling dekat. Tapi mulai hari ini aku bisa duduk “ sahut yang lain.
Jadi hari ini anak-anak kelas 3 ikut kelas tambahan. Itulah kenapa bis nya hari ini sepi dan Emir serta Jian tidak ada didalam bis. Bukan hanya mereka tapi anak-anak kelas 3 yang lain juga tidak ada didalam bis. Mereka semua tetap disekolah untuk ikut kelas tambahan karena sebentar lagi mereka akan UN. Bodoh sekali Tesan berpikiran yang tidak-tidak. Apa otaknya sudah mulai tidak beres sekarang ? sepanjang hari dia tak bisa berhenti memikirkan sepasang mantan kekasih yang tidak dia sukai itu. dan sampai sekarang dia masih belum bisa melepas pikiran apapun tentang mereka. Itu membuatnya marah lagi dan membenci segalanya yang dia temui. Dia bahkan membenci trotoar yang ia injak-injak sekarang. Ia membenci atap halte yang warna nya mulai kusam karena matahari. Ia juga membenci semua yang melihatnya. Ia membenci segala hal didunia ini termasuk dirinya sendiri. Dia benci menjadi orang yang penuh kebencian dan cacat emosi. Dia benci menjadi seorang pengecut yang bersembunyi dibalik emosinya. Dia membenci semua itu.
            “ setelah makan, kerjakan PR mu. I love u “
Pesan itu terabaikan begitu saja dilayar ponselnya. Bahkan setelah membukanya, Tesan tak berniat membacanya sama sekali. Dia hanya reflek melakukan itu saat ponselnya bergetar. Biasanya memang ibunya mengirim sms atau menelponnya di jam pulang sekolahnya. Sekedar mengingatkan agar Tesan makan atau mengerjakan PR. Kadang-kadang juga diselingi candaan dan kata-kata sayang dari seorang ibu kepada anak tunggalnya. Tesan berbaring diatas tempat tidurnya. Masih berseragam lengkap dan kaus kaki. Pandangannya menerawang ke langit-langit kamar yang sebenarnya kosong. Untuk pertama kali dalam hidupnya pikirannya terusik oleh orang lain. Pertama kali dalam hidupnya dia melihat orang lain di pikirannya. Ada orang lain selain ibu dan ayahnya. ada hal lain yang ia inginkan selain kedatangan ayahnya. ada hal lain. Ada sesuatu yang merangsek masuk menghancurkan pertahanannya sedikit demi sedikit. Tanpa ia mengerti sedikitpun semua ini tentang apa. Yang dia tau sekarang, dia tak bisa melenyapkan ingatan-ingatan tentang apa yang telah ia lewati dengan Jian dan Emir. Pikirannya terus berkutat disana. di hal-hal yang pernah terjadi antara mereka. Entah kenapa dia seperti terjebak disana. dia bahkan bukan hanya mengingat hal yang sudah terjadi. Tapi dia juga bisa melihat bagaimana hal yang belum terjadi diantara mereka dalam pikirannya. Terutama dengan Jian. Dia bisa membayangkan pertemuan yang canggung dengannya. pertemuan yang penuh luapan emosi dengannya. dan tiba-tiba dia merasa menyesal telah membuat Jian terlihat tidak berharga didepannya. Bagaimana bisa selama ini dia terlalu kaku, emosian dan sombong bukan main. Dia masih tidak mengerti. Ada sesuatu yang perih dihatinya. Tapi dia tidak mengerti itu apa dan kenapa.
            “ Tesan, Assalamualaikum “ suara ibunya diiringi suara klik pintu yang tertutup.
Tesan terlonjak. Ibunya sudah pulang kerja, artinya hari sudah sore. Tesan bahkan belum mengganti seragamnya dan berpindah dari tempat tidur sejak pulang sekolah. Tesan bangun dan berjalan keluar kamarnya. Rambut dan seragamnya berantakan karena seharian berbaring ditempat tidur. Dia menghampiri ibunya yang sekarang sedang memindahkan belanjaan dari kantong plastik ke dalam kulkas.
            “ mama sudah pulang ?” itu bukan pertanyaan, dia tau itu.
ibunya mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari belanjaan dan isi kulkas. Dia menaruh bungkusan sayura hijau dan tomat lalu menutup kulkas.
            “ kenapa rumah ini gelap sekali waktu mama pulang ? dan... ya ampun Tesan ! kau belum ganti baju ? apa kau juga baru pulang ?“ tanya ibunya heran melihat tampilan anaknya yang tidak biasanya di jam segitu. Biasanya Tesan menyambut ibunya pulang kerja dengan pakaian rapi dan wangi karena sudah mandi.
            “ aku ketiduran “ jawab Tesan.
            “ kau juga tidak makan ? nasi dan lauk nya masih utuh ! “ kata ibunya lagi. Tesan tersenyum pada ibunya yang mulai kecewa karena anak satu-satunya hari ini tidak melakukan tugasnya dengan baik. dia menghampiri ibunya dan memeluknya. Memeluknya dengan manja dan penuh kasih sayang.
            “ apalagi ini ? “ tanya ibunya
            “ jangan marah, aku minta maaf “ jawab Tesan
            “ jangan membuat mama khawatir. kau bisa tidur setelah makan. kenapa tidur begitu saja sampai lupa bangun ? kau tidak pernah seperti itu selama ini “
            “ karena aku jarang sekali seperti ini, makanya jangan marah “ kata Tesan lagi tanpa melepas pelukannya.
            “ mama tidak marah “ kata ibunya.
***

Pagi itu tampaknya tidak ada hal yang berbeda dengan hari biasanya di halte bis. Semua anak yang menunggu bis di halte itu juga masih sama saja dengan biasanya. Tidak ada yang berbeda kecuali sesuatu yang Tesan rasakan. Sesuatu yang aneh menyelinap lagi kehatinya pagi ini. tidak seperti biasanya dia gelisah karena menunggu seseorang. Berkali-kali dia melihat jam tangannya dan memastikan masih ada banyak waktu sampai orang itu muncul. Sebentar lagi bis sekolah mereka akan sampai dan membawa mereka ke sekolah. tapi, dia belum melihat Jian keluar dari gangnya. Dia menunggu Jian dengan gelisah dan berharap gadis itu datang sebelum bis tiba dan sepertinya itu berarti dia tak bisa melihatnya hari ini. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar